Minggu, 19 Oktober 2008

Kasih

Kasih
 
Sabtu sore saya tiba di Bondowoso, tidak langsung menuju rumah, tapi cangkruk di warung amsle-nya emak mertua. Beberapa orang berbincang-bincang, topiknya mudah saya tebak, pembunuhan di Ngagel Jaya itu. Dasar kota kecil! Saya tidak terlalu minat ikutan karena memang pas capek sekali.
 
Minggu pagi saya mengantar mertua dan istri ke pasar. Saya menunggu di dekat pintu masuk pasar. Melihat banyak hal yang jarang saya lihat, tawar menawar dan salesmanship para pedagang itu sambil pula menyegarkan perbendaharaan bahasa madura saya. Pasar ini terletak dekat dengan Pecinan, tempat toko milik keluarga Januar itu. Toko 99, tidak terlalu jauh dari pintu pasar. Tidak minat dan tidak tega kalau saya harus mengulas pembunuhan itu. Tapi setelah lama saya memikirkan itu, ada hal yang menarik dengan kasus itu.
 
Ia membunuh karena kasihnya pada anak dan istrinya. Ia pasti tidak ingin melihat mereka menderita. Suami dan ayah yang baik yang tidak ingin istri dan anaknya menderita. Saya salut dan bisa memahaminya. Demi kasihnya itu, ia berani membayar dengan harga yang sangat mahal. Hanya karena kasih.
 
Tapi mengapa akhirnya masyarakat tidak bisa menerima keadaan ini? Yang salah masyarakat atau dia yang menjadi produk masyarakat itu? Saya hanya mampu merefleksikannya dengan apa yang ada dibenak saya. Lingkungan kecil saya, gereja. Apa yang gereja sudah lakukan dan bisa untuk dilakukan lagi?
 
Gereja memang selalu mendengungkan soal kasih. Apa kasih itu? Kasih yang bagaimana? Kasih itu sesuatu yang Indah. Dimana keindahan kasih itu?
Masyarakat yang Hedonis (pengejar kenikmatan hidup), membawa gereja untuk menyediakan berita penunjang gaya hidup itu. Saat masyarakat tergila-gila dengan ide kesuksesan, gereja sanggup menyediakan ajaran bahwa kita punya allah yang mau kita jadi orang sukses. Walaupun kita harus mereduksikan kesuksesan itu dengan nilai-nilai finansial. Kasih itu direduksikan menjadi kemauan untuk memberikan segala yang nikmat bagi sesama kita. Dirumah, kita terbiasa membuat anak kita tidak menangis. Bila jatuh, yang disalahkan lantainya, ada kodoknya lah. Bila minum obat, ditipu... ini permen koq, ini enak koq. Mengapa kita tidak terbiasa dengan ketidaknyamanan? Dunia ini kejam dan kita perlu menyiapkan diri menghadapi kekejaman itu. Saat jatuh, ya memang sakit, makanya perlu hati-hati. Saat minum obat, ya memang pahit dan tidak enak, tapi ini harus diminum agar sembuh.
 
Dimana letak kasih di saat ada ketidaknyamanan itu? Kasih itu ada di dalam kebersamaan kita ini. Kita siap menemani anak yang menangis karena kesakitan akibat jatuh. Saat anak itu minum obat, ada teman yang menemani. Saat ada badai keuangan menerpa kita, kita merasakan kasih saat ada teman yang menemani kita. Bisa jadi bukan berarti teman itu bisa mengutangi kita, dia sekedar menemani saat banyak teman menghilang. Itu kasih kita sebagai sesama. Kita melakukan bagian kita sebagai manusia. Biarlah Tuhan yang bekerja disisi Tuhan. Kalau Tuhan itu Maha Kuasa, Dia pasti bisa dipercaya untuk menuntun kita dan menyiapkan kita keluar dari masalah itu.
 
Keindahan kasih itu, apa bisa dilihat dengan hakiki? Tetap indah walaupun kita menderita secara finansial. Tetap indah walaupun menderita secara jasmani (sakit). Tantangan gereja untuk menyediakan kasih dengan hakiki melalui ajaran dan jemaat binaannya.
 
Bondowoso, 29 September 2008
 
Salam,
Daniel T. Hage

Tidak ada komentar: