Sikap Lawan Melawan seakan banyak mewarnai hidup saya. Mungkin ini anugerah
atau nasib saya. Tubuh saya yang tinggi, suara yang keras, sorot mata yang
tajam (untuk ini anak saya sering protes, "kalau papa ngomong jangan
mendelik-mendelik gitu") membuat saya punya modal dasar untuk menggertak
orang (apalagi kalau digabung dengan bahasa madura saya). Saya anak
laki-laki tertua dari 4 bersaudara yang yatim. Saya selalu harus bisa tampil
membela saudara-saudara saya. Mungkin ini modal dasar saya. Tapi apa iya
begitu?
Saya menyukai matematika. Karena kalau ulangan saya tidak perlu belajar.
Yang penting saya bisa prinsipnya, saya pasti bisa mengerjakan apapun
soalnya. Yang saya sukai prisip. Saya bisa lebih sederhana mengingat
sesuatu, menyelesaikan sesuatu bila saya sanggup memegang prinsip yang ada.
Prinsip atau konsep sering menjadi pertanyaan awal dan selanjutnya menjadi
acuan kerja berikutnya. Juga dalam pelayanan. Banyak prinsip yang membawa
saya harus masuk dalam suasana Lawan Melawan. Sekarang memang ada istilah
Win-Win Solutions, tapi untuk mencari Win-pun kita harus punya prinsip. Itu
prinsip saya.
Siapa lawan saya? Agar sedikit update, saya akan cerita tentang pelayanan
yang saat ini, di Komisi Beasiswa.
Saat masuk di Komisi Beasiswa, saya baru tahu kalau banyak sentuhan harus
dilakukan. Kita melayani masyarakat yang kurang beruntung. Mereka dari
kalangan bawah, kita bisa kasihan sama mereka, tapi jangan lupa juga, mereka
juga banyak nakalnya. Saat syarat untuk mengambil uang minggu itu adalah
mengumpulkan fotokopi raport, ada anak yang bilang ke ayahnya, " Lho, Pak,
lali ngowo raport". Ayahnya menjawab, " Yo ngomong ae guru e loro (maksudnya
sakit bukan dua lho...)!" Saat urutan dia, diapun mengatakan begitu. Anak
yang baik sama orang tuanya. Bulan depannya saya ungkapkan kasus itu didepan
acara pertemuan rutin. Saya tidak menyebut nama anak itu, tapi anak dan
Bapak itu ada. Yang mau saya lawan adalah penipuan itu. Saya bilang,
"kalaupun memang lupa, kenapa tidak bilang lupa saja?" "ya... bisa tidak
diberi uang lah....." "Ya... kalau itupun terjadi ya... itu
konsekwensinya.... hidup ini memang kejam". " Masak gitu aja takut?".
Belum lagi kalau ada orang tua yang datang bilang kalau anaknya sakit
lah.... ikut tryout lah...... ikut tanding basket lah..... Orang tuanya
bilang, "pak, anak saya tidak bisa datang." Saya selalu menjawab, "Ya..
tidak apa-apa bu... pak..." Biasanya mereka akan melanjutkan dengan omongan,
"jadi nanti bisa saya yang ngambil uang nya...." Saya selalu siap jawaban, "
Ya... tidak bisa lah... khan peraturannya sudah gitu". "tapi saya butuh uang
itu...." "ya ibu khan memang harus memilih penting yang mana..... kalau main
basket lebih penting dari uang itu... ya main basket saja, khan uangnya bisa
bulan depan" Prinsip yang hendak saya sampaikan bahwa: hidup memang harus
memilih, dan mereka harus berlatih memilih.
Belum lagi kalau ada orang tua yang bilang: "Pak, bulan depan anak saya
tidak bisa datang bagaimana pak?" "ya... tidak apa-apa...." "Uangnya...?"
"Ya... kalau menurut ibu bagaimana saya njawabnya....." "Pak, masak tidak
ada dispensasi?" "ya... kalau yang menghadap saya semua ibu-ibu itu.... lha
saya mesti njawab apa...?" Saya selalu menjawab semua perbincangan itu
sambil senyum-senyum saja.
Satu prinsip yang hendak saya tegakkan adalah bagaimana kita menegur mereka
tanpa menyinggung perasaan mereka. Mereka adalah orang yang mudah
tersinggung juga. Mereka juga manusia yang punya harga diri. Sikap mereka
harus kita lawan, tapi kita harus mengasihi dan menghormati dan menghargai
mereka sebagai manusia juga. Sekarang ini pertanyaan-pertanyaan seperti itu
sudah jarang muncul lagi. Pasti mereka sudah bisa menebak jawaban saya.
Itu kalau orang "kecil", bagaimana dengan orang "kuat"....?
Suatu waktu beberapa tahun yang lalu, saat Yahya Juanda tugas, dia mendapat
masukan bahwa ada jemaat yang mau menjadi donatur Beasiswa. Yahya memberikan
itu ke kantor gereja dan kantor gereja meneruskan itu ke saya. Saya hubungi
beliau. Saya jelaskan semua prosedur yang kita lakukan. Saya sangat berharap
ia mau menjadi donatur, karena kita sangat membutuhkan itu. Saya diminta
datang ke rumahnya jam 9 pagi. Di suatu komplek perumahan mewah. Saya datang
jam 9 kurang dikit. Dia belum datang, kata pembantunya. saya di suruh
menunggu, tapi bukan di dalam pagar. Diluar pagar, saya mengerti bahwa
mungkin prosedurnya memang begitu. Saya menunggu...... untung di seberang
rumahnya ada yang masih membangun, saya menunggu sambil berbincang-bincang
dengan mandornya, sekaligus belajar tentang cara membangun rumah. Sampai
sekitar 10.30 dia datang. 10.30! Saya ke sana lagi. Syukurlah, sekarang saya
sudah
boleh masuk rumah itu. Seorang ibu muda, dia tidak meminta maaf, malah
mengajak saya berdoa. Ya saya nurut saja.... namanya juga orang minta
sumbangan.... Dia minta saya mengulang menceritakan semua prosedur yang kita
lakukan di komisi beasiswa. Dia kurang setuju dengan proses pemberian dana
yang langsung setahun di depan, maunya dia mencicil tiap bulannya. Saya
menjawab, "ya, itu prosedur yang sudah kita sepakati dengan majelis, agar
tidak
merepotkan". Dia menjawab, "Kalau tidak mau repot ya jangan pelayanan". Saya
tidak menjawab.... , masak saya mau menjawab, " ya bu, saya akan sampaikan
ke majelis omong ibu itu". Dia juga minta saya memberikan jaminan bahwa anak
yang akan dibantunya itu belajar 5 menit sehari untuk tiap mata
pelajarannya. Saya tidak bisa memenuhi permintaan ibu itu, lha sistemnya
bagaimana? Sayapun merasa tidak perlu mengusahakan permintaan itu, karena
diapun tidak merasa perlu mendidik dirinya untuk disiplin dan meminta maaf
atas keterlambatannya. Sayapun pamit. Saya masih sering melihat dia di
kebaktian tapi tidak pernah sekalipun saya berminat untuk datang dan minta
donasi dari Beliau. Saya cuma ingat omongan Soekarno (mumpung ini lagi 17
an), "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, ...Go To Hell with your
aids!" Bukannya sombong, sayapun setuju dengan omongan, "orang kaya koq mau
diatur", Tapi saat mungkin tidak ada orang yang berani melawan dia. Biarlah
saya yang melawan dia.
Itu kalau menyangkut orang lain, bagaimana dengan diri saya sendiri?
Sekitar sebulan yang lalu, waktu itu dana donasi belum mencapai targetnya
yang 65 juta. Kita sudah harus segera menseleksi siswa-siswa yang akan
diterima. Semua formulir yang masuk saya bawa. SD, SMP, SMA, yang baru, yang
lama, yang terlambat. Semua sudah saya golongkan dalam map masing-masing.
Semua pengurus ikut menyeleksi, kita tentukan dulu berapa anak yang akan
kita terima, berapa yang baru, berapa yang lama. Di tumpukan itu ada 2
bersaudara yang mendaftar dan saya sudah pernah survay ke rumahnya. Rumahnya
di suatu perumahan, tapi itu pinjaman, karena rumah itu digunakan untuk
gudang. Seluruh bagian rumah dan halamannya penuh barang. Dia mungkin
tinggal di sela-sela barang-barang itu. Saat itupun saya ditemui di depan
rumahnya.
rasanya tidak mungkin duduk didalam rumah itu. Anak itu dua bersaudara,
ayahnya (katanya teman SMA dengan pak Henock) calo STNK, ibunya baru
meninggal karena kanker kandungan. Disekolah semua temannya tidak tahu dia
membawa bekal apa. Setiap ia makan, didekatkannya mulutnya dengan tas kresek
hitam yang dibawanya. Seluruh kekayannya mungkin habis untuk pengobatan
ibunya. Secara pribadi saya ingin sekali mendukung anak itu melalui program
beasiswa. Saat rapat itu saya sudah menjelaskan tentang dua anak itu.
Kakaknya sekolah di sekolah terkenal. Semua rekan akhirnya bilang kalau yang
diterima adiknya saja (yang sekolah di karangpilang), dengan alasan bahwa
kalau kakaknya ya... salahnya sendiri koq sekolah di sekolah mahal. Padahal
untuk pindah ke sekolah lain tidak mungkin karena dia sudah kelas 6. Ingin
saat itu saya ngotot. Tapi saya berusaha menahan diri. Biarlah semua rekan
yang memutuskan. Bagi saya, tidak layak untuk mencuri kemuliaan bagi diri
sendiri. Saya tidak pernah menjanjikan apapun kepada anak yang saya survay,
saya selalu bilang kalau ini uang jemaat dan bukan uang saya pribadi dan
saya cuma salah satu pengurus yang harus merundingkan semua dengan
rekan-rekan pengurus lainnya.
Kesimpulan dari rapat itu memberatkan saya, ingin rasanya saya ngotot lagi.
Tapi prinsip saya melawan saya sendiri untuk melakukan itu. Saya hanya bisa
mendoakan anak itu, semoga Tuhan membukakan jalan yang lain. Beberapa hari
kemudian, saya menjemput anak saya, saya tahu anak itu mungkin ada juga.
Saya mampir membelikan biskuit yang kira-kira anak saya suka, dengan harapan
anak itu juga suka. Saya suruh anak saya mencari anak itu dan memberikan
kantongan kresek itu. Diperjalanan pulang, anak saya bertanya alasan saya
memberikan biskuit itu. Saya cuma bisa bilang,"Saat papa seusia anak itu,
papa juga sudah tidak punya mama lagi". Walaupun di hati saya ada kekecewaan
karena tidak bisa menolongnya lebih lanjut.
Saya mendoakan anak itu karena memang saya tahu dia butuh bantuan walaupun
sedikit yang bisa diberikan. Terlalu mudah bagi saya kalau cuma mau
menyelipkan satu nama anak di daftar yang memang saya buat sendiri. Tapi
saya sudah berkomitmen untuk menghormati rekan-rekan lainnya, dan pasti
Tuhan mampu membantu dia melalui jalanNya sendiri. Sampai saat terakhir
pengumuman sebelum acara pertemuan agustus akan dilakukan, kita mendapat
lonjakan dukungan dana yang terkumpul, 90 juta-an, melebihi target, itupun
belum termasuk kalau KA menyumbang lewat hasil penjualan koran bekasnya.
Kita rapat lagi, kita sepakat untuk menaikkan jumlah sumbangan dan menambah
beberapa siswa lagi. Saya memang ingat anak itu, tapi saya tidak pernah
berkeinginan untuk ngotot lagi. Tiba-tiba Bu Warso berkata tentang anak itu.
Beliau yang menyarankan agar anak itu ditambahkan karena kita memang
mendapat dana yang berlebih dan anak itu menurutnya memang layak dibantu.
Rekan-rekan yang lain setuju. Saat itu hati saya tersentuh. Bisa jadi Tuhan
memang punya jalan sendiri. Dan yang jelas saya sudah menang melawan diri
saya sendiri. Menang untuk tidak mencuri kemuliaan dan menyalahgunakan
wewenang.
Sekian cerita saya, mungkin banyak perlawanan yang masih harus saya hadapi.
Doakan saya.
Salam,
Daniel T. Hage
Minggu, 19 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar