Topik tentang SERA (Suku, ekonomi, ras) mengingatkan saya tentang pengalaman yang pernah saya alami.
Saya sempat sekolah di SD YPPI sulung, sekolah ini mayoritas tionghwa, saya ingat, saya terbiasa bicara dengan bilang lu.... gua.... (bukan loe gue gaya betawi). Ketika pindah ke Bondowoso, saya bersekolah di SD Katolik. Sekolah misi, begitu biasanya orang bondowoso menyebutnya. Sekolah itu mayoritas juga tionghwa, cuma disana mereka biasa lebih banyak berbahasa indonesia dengan lebih baik. Kita bicara dengan menyebut: kamu dan saya, diselingi beberapa bahasa madura. SMP pun saya di sekolah yang sama. Saat lulus SMP, harusnya saya sekolah di SMAK Frateran. Waktu itu saya ngotot untuk tetap di Bondowoso, di SMPP negeri bondowoso. Tahun 1984 itu, pemerintah baru mengeluarkan kebijakan masuk universitas negeri bebas Test, PMDK, Penelusuran Minat dan Kemampuan. Di tahun pertama PMDK itu, SMAK Frateran PMDKnya 9 orang dan SMPPN Bondowoso 9 orang juga, jadi saya pikir kualitasnya sama. Saya pilih tetap di Bondowoso saja. 6 teman sekelompok saya juga setuju untuk sekolah di Bondowoso saja, semuanya tionghwa.
Sekolah di sekolah negeri itu adalah proses awal penegakan identitas pribadi saya. Kelas satu saya berdua yang tionghwa, kelas dua dan kelas tiga, saya sendirian yang tionghwa. Ini pengalaman pertama saya menjadi minoritas yang sebenar-benarnya. Kita berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, karena awalnya bahasa madura saya cuma sepotong-sepotong. Tidak ada masalah antara saya dan teman-teman sekelas saya. Saya bisa bergaul dengan mereka. Perasaan tidak enak justru muncul saat saya berkumpul dengan 6 teman yang tionghwa itu. Saya menjadi kikuk kalau harus bicara dengan aksen tionghwa itu. Saya merasa malu sendiri, pingin bicara dengan bahasa Indonesia yang baik. Kalau ada teman yang bicara dengan aksen itu, saya rasanya malah tidak senang dengan dia. Saya merasa dia itu tidak dapat menyesuaikan diri. Koq, tidak dapat membawa diri! Begitu perasaan saya pada teman-teman tionghwa itu. Saya ingin menuntut mereka untuk berubah menjadi lebih Indonesia.
Perasaan penolakan terhadap identitas sendiri ini membawa beban bagi saya. Saya jadi agak sulit dan sangat berhati-hati dalam bergaul di SMA itu. Hal itu berbeda dengan cara bergaul saya waktu masih SMP. Berbeda juga dengan cara bergaul teman saya yang keturunan Arab. Di kelas, minimal ada 2 teman yang Arab. Kelas dua saya punya dua teman Arab. Azis Miftah, berkulit hitam dan ekonominya biasa-biasa dan Essam Amar, berkulit putih anak orang kaya (keluarganya punya toko besar di Pecinan). Dua orang keturunan itu beda dengan saya, dia berani bergaul dengan bebasnya. Bisa berani nakal. Lha, saya koq tidak. Essam itu tinggal persis di seberang sekolah, seringnya datang telat, pernah ditanya sama Pak Guru, "Kamu kesini naik apa?" dijawabnya "Saya naik onta Pak!" Juga bila ada anak yang kehabisan ballpoint (tintanya habis), ada teman yang selalu nyeletuk ,"Soroh Aziz raop bei!" "Suruh Azis cuci muka saja" Khan dia hitam, jadi siapa tahu airnya jadi hitam jadi bisa dibuat tinta. Azisnya malah overacting membuat kelas jadi tambah seru.
Saya malah punya beban atas identitas saya ini untuk bisa bergaul dengan bebas.
Sampai suatu saat saya diceritai oleh Papa, soal BAPERKI dan Soeharto. Soal perbedaan konsep antara keduanya. Keluarga saya memang banyak mengalami masalah terimbas oleh gejolak politik waktu itu. Engkong saya di tembak mati, Tante saya harus balik ke Tiongkok dan Om saya tidak jadi wisuda karena seminggu sebelum wisudanya, universitasnya di bakar. Ia kuliah di universitas milik BAPERKI, sekarang jadi Trisakti. Baperki punya konsep Integrasi, sedang Soeharto punya konsep asimilasi. Integrasi berarti penyatuan dengan tetap menghormati dan mengakui perbedaan yang ada. Asimilasi berarti semua perbedaan harus dilebur menjadi satu kesatuan yang baru. Makanya kemudian ada Ganti nama, ide menjadi islam (agar lebih meng-Indonesia) dan tindak-tindakan untuk menghilangkan perbedaan demi persatuan itu.
Saya memilih untuk mempercayai integrasi. Kesatuan dan Persatuan yang tetap mengakui adanya perbedaan. Perbedaan yang ada merupakan kekayaan yang indah untuk dinikmati bersama. Rasanya dengan konsep integrasi itu, saya menjadi bebas dan ringan. Saya tidak perlu merasa dibebani oleh perbedaan saya dan saya tidak perlu memaksa orang lain untuk berubah juga. Saya cukup menanamkan rasa kebersamaan dengan sesama saya. Dengan ringan juga saya bisa berolok-olok dengan segala perbedaan yang ada. Yang penting adalah perhormatan dan penghargaan yang sama bagi sesama saya.
Demikian sharing saya.
(kelanjutannya.....)