Selasa, 06 Januari 2009

Cerita tentang penegakan identitas

Topik tentang SERA (Suku, ekonomi, ras) mengingatkan saya tentang pengalaman yang pernah saya alami.
 
Saya sempat sekolah di SD YPPI sulung, sekolah ini mayoritas tionghwa, saya ingat, saya terbiasa bicara dengan bilang lu.... gua.... (bukan loe gue gaya betawi). Ketika pindah ke Bondowoso, saya bersekolah di SD Katolik. Sekolah misi, begitu biasanya orang bondowoso menyebutnya. Sekolah itu mayoritas juga tionghwa, cuma disana mereka biasa lebih banyak berbahasa indonesia dengan lebih baik. Kita bicara dengan menyebut: kamu dan saya, diselingi beberapa bahasa madura. SMP pun saya di sekolah yang sama. Saat lulus SMP, harusnya saya sekolah di SMAK Frateran. Waktu itu saya ngotot untuk tetap di Bondowoso, di SMPP negeri bondowoso. Tahun 1984 itu, pemerintah baru mengeluarkan kebijakan masuk universitas negeri bebas Test, PMDK, Penelusuran Minat dan Kemampuan. Di tahun pertama PMDK itu, SMAK Frateran PMDKnya 9 orang dan SMPPN Bondowoso 9 orang juga, jadi saya pikir kualitasnya sama. Saya pilih tetap di Bondowoso saja. 6 teman sekelompok saya juga setuju untuk sekolah di Bondowoso saja, semuanya tionghwa.
 
Sekolah di sekolah negeri itu adalah proses awal penegakan identitas pribadi saya. Kelas satu saya berdua yang tionghwa, kelas dua dan kelas tiga, saya sendirian yang tionghwa. Ini pengalaman pertama saya menjadi minoritas yang sebenar-benarnya. Kita berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, karena awalnya bahasa madura saya cuma sepotong-sepotong. Tidak ada masalah antara saya dan teman-teman sekelas saya. Saya bisa bergaul dengan mereka. Perasaan tidak enak justru muncul saat saya berkumpul dengan 6 teman yang tionghwa itu. Saya menjadi kikuk kalau harus bicara dengan aksen tionghwa itu. Saya merasa malu sendiri, pingin bicara dengan bahasa Indonesia yang baik. Kalau ada teman yang bicara dengan aksen itu, saya rasanya malah tidak senang dengan dia. Saya merasa dia itu tidak dapat menyesuaikan diri. Koq, tidak dapat membawa diri! Begitu perasaan saya pada teman-teman tionghwa itu. Saya ingin menuntut mereka untuk berubah menjadi lebih Indonesia.
 
Perasaan penolakan terhadap identitas sendiri ini membawa beban bagi saya. Saya jadi agak sulit dan sangat berhati-hati dalam bergaul di SMA itu. Hal itu berbeda dengan cara bergaul saya waktu masih SMP. Berbeda juga dengan cara bergaul teman saya yang keturunan Arab. Di kelas, minimal ada 2 teman yang Arab. Kelas dua saya punya dua teman Arab. Azis Miftah, berkulit hitam dan ekonominya biasa-biasa dan Essam Amar, berkulit putih anak orang kaya (keluarganya punya toko besar di Pecinan). Dua orang keturunan itu beda dengan saya, dia berani bergaul dengan bebasnya. Bisa berani nakal. Lha, saya koq tidak. Essam itu tinggal persis di seberang sekolah, seringnya datang telat, pernah ditanya sama Pak Guru, "Kamu kesini naik apa?" dijawabnya "Saya naik onta Pak!" Juga bila ada anak yang kehabisan ballpoint (tintanya habis), ada teman yang selalu nyeletuk ,"Soroh Aziz raop bei!" "Suruh Azis cuci muka saja" Khan dia hitam, jadi siapa tahu airnya jadi hitam jadi  bisa dibuat tinta. Azisnya malah overacting membuat kelas jadi tambah seru.
 
Saya malah punya beban atas identitas saya ini untuk bisa bergaul dengan bebas.
 
Sampai suatu saat saya diceritai oleh Papa, soal BAPERKI dan Soeharto. Soal perbedaan konsep antara keduanya. Keluarga saya memang banyak mengalami masalah terimbas oleh gejolak politik waktu itu. Engkong saya di tembak mati, Tante saya harus balik ke Tiongkok dan Om saya tidak jadi wisuda karena seminggu sebelum wisudanya, universitasnya di bakar. Ia kuliah di universitas milik BAPERKI, sekarang jadi Trisakti. Baperki punya konsep Integrasi, sedang Soeharto punya konsep asimilasi. Integrasi berarti penyatuan dengan tetap menghormati dan mengakui perbedaan yang ada. Asimilasi berarti semua perbedaan harus dilebur menjadi satu kesatuan yang baru. Makanya kemudian ada Ganti nama, ide menjadi islam (agar lebih meng-Indonesia) dan tindak-tindakan untuk menghilangkan perbedaan demi persatuan itu.
 
Saya memilih untuk mempercayai integrasi. Kesatuan dan Persatuan yang tetap mengakui adanya perbedaan. Perbedaan yang ada merupakan kekayaan yang indah untuk dinikmati bersama. Rasanya dengan konsep integrasi itu, saya menjadi bebas dan ringan. Saya tidak perlu merasa dibebani oleh perbedaan saya dan saya tidak perlu memaksa orang lain untuk berubah juga. Saya cukup menanamkan rasa kebersamaan dengan sesama saya. Dengan ringan juga saya bisa berolok-olok dengan segala perbedaan yang ada. Yang penting adalah perhormatan dan penghargaan yang sama bagi sesama saya.
 
Demikian sharing saya.
(kelanjutannya.....)

Jumat, 28 November 2008

Cerita tentang Emak

Hari ini pas 11 tahun meninggalnya nenek saya. Saya memanggilnya Emak. Seorang wanita berkebaya yang banyak mendidik saya tentang kehidupan ini. Saya tinggal bersamanya sejak kelas 5 SD sampai lulus SMA, 8 tahun lamanya.
 
Emak sudah menjanda sejak usia sekitar 35 tahun. dengan 3 orang anak, yang terkecil, papa saya, berusia 10 tahun. Rumah asalnya saat ini jadi gudang tembakau perusahaan rokok besar ditengah-tengah jarak antara Bondowoso Jember. Rumah itu ditinggalkannya begitu saja mengungsi ke kota Bondowoso, tanpa mau mengurusi kepemilikannya lagi. Disana ia telah kehilangan semuanya, harta benda dirampok, rumah di bakar, suami ditembak mati. Terlalu pahit untuk didatanginya lagi. Untunglah, Emak mendapat bantuan 4 ekor sapi perah dan rumah untuk ditinggali. Dengan memelihara sapi perah dan menjual Susu Sapi, ia membesarkan anak-anaknya, keponakan-keponakannya juga cucu-cucunya.
 
Saya mendapat kenang-kenangan sebentuk cincin berlian dan giwang bermata permata. Mungkin harganya mahal, tapi saya tidak terlalu mengingatnya, karena memang Emak jarang memakai dan membanggakannya. Saya lebih mengingat banyak peribahasa dan ungkapan-ungkapan yang ia sampaikan. Ada yang berbahasa mandarin, Hokkian, madura dan bahasa Indonesia. Yang paling saya ingat dengan tepat pasti yang madura dan Indonesia, karena saya mampu berbahasa itu.
Banyak pelajaran berharga tentang nilai-nilai kehidupan yang saya dapatkan dari Emak.
 
Emak pernah cukup aktif di GKI Bondowoso, pernah jadi majelis di jamannya Pak Wiede Benaja, pendeta yang sangat dihormatinya. Ia pun selalu hormat pada "Boksu", begitu biasanya ia memanggil Pak Pendeta. Siapapun beliau itu. Pernah ada pendeta muda yang bermasalah dengan jemaat di Bondowoso, tapi Emak tetap menghormatinya, selalu dikiriminya susu dan buah mangga atau rambutan, tidak terpengaruh oleh gonjang-ganjing yang ada.Tentang kerohanian, Emak pernah menjelaskan tentang satu karakter (huruf) dalam aksara Cina, "Lai" yang berarti datang. Karakter ini terdiri dari 3 bagian, ditengahnya ada goresan mirip salib dan di kiri kanannya agak kebawah ada dua goresan lagi. Kalau berdiri sendiri, dua goresan itu masing-masing akan berbunyi "ren" yang berarti orang. Emak bilang, "inilah sebabnya bahwa tiap orang harus datang di bawah salib".
 
Sehari-hari dalam bermain bersama saudara, saya kadang bertengkar. Emak menasehati untuk tetap rukun. Mumpung masih kecil. Menurut Emak, justru pada saat kita masih kecil, maka kita bisa merasakan arti persaudaraan yang sebenar-benarnya. Nanti kalau kita sudah besar, kita akan punya ipar, suami atau istri saudara-saudara kita. Saat itu semuanya mungkin akan berubah. Tentang ipar-ipar itu Emak "bernubuat", "Sa te pote na kapor, gi' be'eng". Seputih-putihnya kapur (saat itu belum ada cat tembok), masih kusam (mangkak)". Benarkah nubuatan itu? Hanya kita yang bisa merasakan sejujurnya.
 
Sehari-hari saya membantu Emak berjualan susu sapi. Saya mendapat kepercayaan yang besar untuk bisa membantunya. Dia tidak pernah menyuruh kami bersaudara untuk membantunya, karena untuk membantunya kita harus bangun pagi sekali. Dia tidak pernah membangunkan saya. Saya berusaha bangun jam 3.30 kalau mau membantunya. Emak percaya juga, waktu saya minta menguruskan pajak perusahaan itu. Dari pada uangnya untuk membayar orang kantor pajak. Saya pelajari buku pedoman pajak, saya isikan SPT-nya. Waktu itu saya kelas 1 SMP. Saya antar ke kantor pajak pakai sepeda mini dan bercelana pendek.
Orang Pajaknya tanya,"Siapa yang mengisi?"  
"Saya"
"Kamu tahu, kalau sampai salah isi, dendanya besar, segini... segini..... segini..." Saya ketakutan selama berbulan-bulan, tanpa berani cerita ke Emak. Tahun-tahun berikutnya saya tetap mengisinya lagi. Sampai perusahaan itu ditutup, Emak tidak pernah punya masalah dengan pajak. Waktu saya tanya kenapa harus bayar pajak, Emak bilang, "Karena Engkong pesan, kalau mau berbisnis harus mau bayar pajak"
 
Di perusahaan susu itu, ada beberapa loper (pengantar) susu yang nakal. Uang setorannya sering tidak pas. Selalu berhutang, tambah lama hutangnya tambah besar. Saya mengusulkan untuk memecatnya saja. Emak selalu menolak, alasannya, "Baju robek bisa ditambal, tapi kalau perut lapar, mata bisa gelap". Pedoman ini selalu saya ingat dalam mengelola pekerjaan saya saat ini. Penghargaan akan kebutuhan manusia, walaupun itu karyawan kita.
 
Dalam berteman, Emak pernah bilang untuk menghindari, "Pandhen dhuri, endhe' ngaek ta' endhe' e kaek" Pandan berduri, mau mengait, tidak mau dikait. Di daun pandan itu ada duri yang menghadap ke belakang, seperti kail. Duri itu mampu mengait orang, tapi sulit untuk dikaitkan. Jangan egois.
 
Keteguhan Emak pada prinsip hidup mungkin enak untuk diceritakan, tapi harga sesungguhnya yang harus dibayarnya sungguh besar. Setelah G30S, sekolah Tionghwa di tutup. Tante saya, anak perempuan Emak satu-satunya. Tuako, begitu saya harus memanggilnya. Adalah guru di sekolah Tionghwa, dia tetap berkeinginan menjadi guru. Untuk itulah ia memohon ijin untuk kembali ke Daratan Tiongkok. Emak melarangnya. Emak sangat mencintainya dan tidak ingin berpisah darinya. Sampai suatu saat, Emak tidak dapat menolak untuk mengingkari prinsip hidupnya sendiri. Saat Tuako bilang, "Kalau Mama percaya ini bumi Tuhan dan disana juga bumi Tuhan, kenapa Ngo (saya) tidak boleh pergi?" Perkataan itu dibenarkannya, dan dilepasnya Tuako untuk pergi. Diberinya kenang-kenangan yang sangat dibanggakannya. Sebuah bros bintang emas, yang diperolehnya saat juara lomba pidato dalam rangka ulang tahun Ratu Wihelmina di kelas 5 SD. Mungkin itu kelas terakhirnya, karena Emak tidak punya ijasah, papanya melarang untuk terus bersekolah, karena ia perempuan. Bros itu dibanggakannya karena disematkan oleh Kapten Cina, pemimpin komunitas Tionghwa di Bondowoso waktu itu. Perpisahan itu, adalah pertemuan terakhir antar mereka, Mama dan anak perempuan yang dicintainya. Mereka tidak pernah saling berjumpa lagi sampai maut memisahkan mereka.
 
Saat hidup harus berprinsip, saya bersyukur saya mendapat teladan yang baik dari Emak. Teladan untuk mencari, menemukan dan mentaati prinsip hidup ini, seberapapun mahal harganya. Seperti doa yang sering saya panjatkan, saat inipun saya berdoa, "Tuhan, sampaikan salam saya untuk Emak".
(kelanjutannya.....)

Senin, 27 Oktober 2008

Cerita tentang Belajar Komputer

Saya baru mengenal komputer tahun 1987, saat pertama kali kuliah di ITS. Kiranya cerita ini bisa menginspirasi banyak teman.
 
Saya dari sekolah negeri di Bondowoso, itupun masih 3 km di luar kota ke arah Situbondo. SMPP, Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan, sebuah sekolah percobaan. Pemerintah dulu punya rencana untuk membuat SD 8 tahun dan kemudian SMPP 4 tahun. Dari sana saya masuk ITS, saya kagum dengan kampus itu, karena gedenya koq rasanya lebih gede dari kota Bondowoso. Rasanya semua ada disana, dan rasanya rugi kalau tidak memanfaatkan fasilitas yang ada. Termasuk fasilitas di Pusat Komputasi ITS. Mahasiswa boleh pakai komputer dengan tarif 400 rupiah per jam.
 
Ketika masuk ITS saya belum pernah lihat dan pegang komputer. Barang yang terlalu canggih untuk ditemukan di Bondowoso. Karena itu saya pingin bisa belajar memakainya. Saya cari buku komputer. Saya pikir belajar komputer itu mulai dari BASIC, saya baca buku itu. Tapi ternyata saya salah, saya baru tahu kalau pertama-tama harus belajar DOS. Saya belajar juga DOS, baca buku sampai lumayan ngerti. Tapi ya... cuma diangan-angan saja, karena saya juga belum pernah praktek. Saya beranikan diri untuk beli jam di PUSKOM ITS. Saya PD aja, untuk mulai praktek semua yang sudah saya baca.
 
Setelah antri dengan berdesak-desakan, saya akhirnya bisa duduk di depan komputer untuk pertama kalinya seumur hidup. Saya bawa buku untuk belajar, bawa disket DOS juga. Waktu itu disketnya 5,5 inci, gede tapi tipis. Disketnya saya masukkan, saya turunkan kunci disk drive-nya. Saya tunggu lama, kog tidak ada reaksi apa-apa. Saya memang tahu komputernya ini pasti belum nyala. Tapi masalah terbesar yaitu, di buku-buku itu tidak ada petunjuk cara menyalakan komputer. Semua yang bisa saya pencet, sudah saya pencet, tapi komputernya belum nyala juga. Mau tanya ke orang lain koq rasanya malu. Saya menunduk terus, pura-pura baca buku, sambil lirik kanan lirik kiri, siapa tahu ada yang baru datang juga. Akhirnya datang juga pengunjung baru, saya lihat terus apa yang dia lakukan. Ternyata dia menjulurkan tangan kanannya ke belakang komputer. Saya coba juga meraba-raba sisi kanan belakang komputer itu. Ooooo, ternyata disisi kanan belakang komputer itu ada tombol power yang harus dinaikkan. Ya..... ampun.... saya baru tahu. Nah, hari itu saya belajar komputer untuk pertama kalinya dengan materi utama Cara Menyalakan Komputer.
 
Hari-hari berikutnya saya rajin belajar komputer. Antri berdesak-desakan. Selalu saja ada kejadian menarik waktu antri itu. Setiap kali antri kita harus menyerahkan kartu tanda pembelian jam kita dan menandatangani daftar hadir. Setiap selesai tanda tangan selalu ada yang saya rasa aneh. Pasti orang di kanan kiri saya menoleh ke saya. Sekedar melihat saya, tidak ada kata-kata yang terlontar. Tapi mungkin saya bisa menebak yang terbersit dibenak mereka, "Tanda tangane koyok tulisan arab, tapi wong e koq cino..."
 
Beberapa bulan kemudian, Paulus memberi saya alamat temannya yang punya toko komputer, Dian Computer di Kedungdoro. Saya ke sana dan diterima sebagai Trainer Freelance. Waktu itu komputer masih XT kemudian AT, banyak orang yang belum bisa komputer, jadi kalau beli komputer akan dapat bonus training 5 Jam. Tugas saya adalah memberi kursus singkat itu, 5 jam per customer. Saya dibayar Rp. 5.000,oo per jam. Materinya terserah customernya. Biasanya DOS, Wordstar, Lotus 123, Dbase... atau apa saja sak mintanya dia. Saya tidak perlu datang ke kantor, cukup telpon alamat yang harus saya datangi dan buat janjian sendiri. Datang ke kantor hanya untuk ambil honor saja.
 
Sampai suatu saat saya dapat tugas training untuk satu perusahaan di sekitar Kapasan. Bos muda yang punya pabrik rotan besar. Saya datang dan mengajar disana. Saat itu dia mengeluh kalau tidak mengerti sama sekali tentang komputer. Lalu saya menjawab, "Tidak apa-apa, komputer itu gampang koq, saya aja tidak sekolah komputer, tapi bisa komputer." Saya merasa ingin membesarkan hatinya dengan omongan itu. Tapi besoknya saya dipanggil ke kantor dan ditegur sama bos saya. "Daniel, kamu jangan bicara begitu, orangnya marah, karena dianggap kita kirim orang yang tidak qualified." Saya sedih sekali, maksud saya ternyata ditanggapi lain. Saya walaupun belajar sendiri tapi khan saya bisa dengan tidak kalah dari yang sekolah/kursus. Masak semua harus sekolah formal dan ada ijasahnya? Tapi ini pelajaran berharga buat saya.
 
Soal Blog, saya memang pingin bisa buat website, terutama untuk promosi pekerjaan saya. Saya tetap yakin kita di Indonesia bisa menandingi kualitas bengkel di luar negeri. Kalau orang Jerman bisa buat part yang sangat presisi, saya yakin bukan orang Jermannya yang pinter, tapi alat dan program mereka yang canggih. Jadi kalau kita bisa pakai mesin yang sama canggihnya, pasti kita bisa menang sama mereka. Mereka masih harus beli software-nya, lha semua software ada bajakannya disini. Paling tidak ini "keuntungan" dari harapan saya. Tapi saya tidak punya kekuatan memaksakan alokasi waktu untuk belajar itu. Sampai Tri bilang soal blog. Saya masih juga ogah-ogahan. Sampai bulan lalu, di Kompas ada artikel soal Facebook, website untuk pertemanan. Saya coba masuk website itu dan saya search nama teman saya, Andrew Elnatan. Iseng saja. Wah..... Ketemu, ada nama itu di LA, USA. Saya lihat fotonya koq beda.... tapi saya yakin di dunia ini masak ada orang lain dengan nama itu. Dia ini teman sebangku saya sampai kelas 4 SD di YPPI sulung. Kelas 4 itu kita berpisah. Dia pindah Ke Australia, saya pindah ke Bondowoso. Hampir 30 tahun kita tidak pernah bertemu. Dan Internet mempertemukan kita lagi. Ini mujizat.
 
Kekaguman saya akan internet mendesak saya untuk bisa belajar buat blog itu. Saya benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana. Saya coba-coba saja. Tanya ke Tri bisa menjadi jalan masuk, tapi saya orang yang sulit diajari. Saya sulit kalau mendengarkan penjelasan orang lain, saya lebih mudah belajar sendiri dari buku atau artikelnya. Tri memang banyak membantu, paling tidak akhirnya saya tahu tempat dimana dia "kulakan" ilmunya. Saya ke situs itu dan belajar sendiri. Akhirnya jadi juga. Bagi yang mau belajar masuk saja ke: ilmukomputer.com, disana banyak orang yang mau berbagi ilmu.
 
Saya yakin, tiap orang juga pasti bisa, asal mau meluangkan waktu untuk belajar. Internet ini memang luar biasa. Hal-hal yang mustahil di masa lalu kini semuanya jadi bisa.
 
Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

Selasa, 21 Oktober 2008

It's all about money

Semua komisi dan bidang sudah memasukkan program kerjanya. Tim program pasti bekerja keras untuk mengolahnya. Banyak masukan dan keinginan yang sudah akan dilaksanakan untuk tahun depan. Banyak "Laskar Pajang" yang katanya boleh tetap punya impian. Banyak juga "kehendak Bohir" yang harus dilakukan.
 
Saya tidak ingin mencampuri semua pihak yang sedang bekerja dan berharap. Saya hanya duduk sebagai penonton yang bisa berkomentar dengan bebas. Apa yang akan banyak kita dengar? Kondisi perekonomian global yang melesu?  Bagaimana dengan rencana pemasukan kita tahun depan? Beranikah kita berharap bahwa pemasukkan kita akan mencukupi untuk membiayai semua impian kita?
 
Seorang teman saya acap berkoar-koar,"Kita ini khan anak, kita buat saja daftar segala kebutuhan kita, lalu kita minta sama Bapa kita yang empunya jagad raya ini" "Masak Ia tidak akan mencukupkan kita?" Sebagai teman yang baik, saya menghargai dia dengan jawaban, "KCL!" Kacian Deh Lu! Idenya tidak laku! Selalu saja dia diingatkan bahwa kita sudah diberi otak sama sang Bapa. Kita harus punya hikmat untuk memikirkan dan merencanakannya. Maka jadilah kita selalu memikirkan dan merencanakan pemasukan kita.
 
Kalau kita ini perusahaan, maka perencanaan pemasukkan akan berkaitan erat dengan penjualan produk kita. Dengan proyeksi nilai penjualan kita, kita akan tahu berapa pemasukan kita. Bagaimana dengan kita? Apa produk yang kita jual dan apa usaha kita untuk meningkatkan pemasukan kita melalui pendekatan produk kita? Apakah tidak satupun yang akan kita lakukan untuk memperbesar pemasukkan kita? Kita berharap dengan pasif, tetapi kita punya target. Kita bagaikan duduk menunggu jatuhnya daun dewa ndaru di Gunung Kawi, ketika daun itu kita dapat, kita pulang dengan damai. Mengapa kita tidak mengguncang pohon itu atau memanjatnya untuk memetik daunnya? Takut kualat? Atau kita yang tidak tahu kalau kita bisa berbuat begitu?
 
Kalau kita mau berpikir dan merencanakan pemasukkan kita, mari kita definisikan produk kita sebagai gereja. Jangan terbawa untuk mendefinisikan dengan vulgar, misalnya keselamatan atau masuk surga, nanti kita bisa kena tempelak sama Martin Luther lagi. Tapi misalnya bila kebersamaan dan kekeluargaan dan misi keluarga dalam bergereja menjadi salah satu produk kita, maka kita bisa menjualnya itu ke jemaat kita. Kita  bilang ke jemaat, kita bisa menjalin keakraban dan kekeluargaan diantara kita. Kita bisa mengajak jemaat untuk membiayai program kita itu. Contohnya, saat Kopi Darat itu sebagai produk bisa didefinisikan dan dijual, maka berapa banyak dari kita yang mau membayar mahal untuk pencapaian tujuan acara itu? Kita sudah pernah melakukan dan berhasil, kita hanya perlu keberanian untuk melakukan dengan skala yang lebih besar.
 
Memikirkan dan merencanakan pemasukan kita? Benarkah itu?
Jangan-jangan yang kita lakukan bukan memikirkan dan merencanakan untuk mencukupkan segala kebutuhan kita, tetapi malah merencanakan untuk "membatasi" penerimaan kita.
 
Kalau kita memang sungkan untuk meminta pada Bapa kita, mengapa kita tidak berusaha dengan kekuatan kita (dan ini serius), seperti Yakub yang berani berkelahi melawan malaikat Tuhan. Apa jadinya kalau kita enggan berdoa tapi juga enggan "berkelahi"?
 
Berdoa atau berjuang? Bagi yang males mikir, jawabnya pasti kedua-duanya. Tapi..... jujurlah..... ini benar-benar pilihan dan keduanya benar asal serius.
 
Tulisan ini tidak bermaksud mempertentangkan doa dan usaha kita. Marilah kita melihatnya sebagai talenta yang kita punyai, bagi yang bertalenta berdoa, doakanlah kami yang berusaha. Bagi yang memang bertalenta untuk bekerja, berjuanglah karena ada kami yang selalu mendoakan anda.
 
 
Salam,
Daniel T. Hage
(kelanjutannya.....)

Minggu, 19 Oktober 2008

Pengintai Kita

Lagi-lagi alkisah di suatu waktu di Dipo. Dahulu kala, di KPR ada seorang Tante yang sangat menyayangi dan memperhatikan KPR, Tante Betty Kwee. Beliau selalu mendampingi KPR, mendampingi. Cuma itu yang dilakukannya, tidak pernah memaksakan kehendak ataupun usulan. Tiap rapat KPR, beliau selalu hadir. Kalau tidak bisa hadir beliau akan selalu berkata, "Daniel, Tante tidak bisa datang.... tapi nanti Tante akan masakkan." Jadinya, beliau selalu hadir. Kalau tidak orangnya.... ya paling tidak masakannya. Ada yang mau nulis tentang Tante Betty?

Hari itu, sepulang kebaktian kita kumpul di rumah Tante Betty. Ada masalah cukup "genting" saat itu. Soal tulisan Pak Robert Setio. Tulisan di warta jemaat soal karya penyelamatan Yesus. Tulisan itu idenya mirip kayak yang diungkapkan pak Widi di Acara yang lalu. Rasanya memang Pak Robert mendahului zamannya. Beberapa pemuda tidak setuju dengan tulisan itu. Kita sepakat untuk protes atas isi renungan di warta jemaat itu. Strateginya kita susun. Saya sepakat bahwa yang nulis harus pribadi-pribadi. Kita sebagai KPR tidak akan menulis surat resmi. Rasanya ada beberapa teman yang menulis surat ke majelis waktu itu.

Beberapa saat kemudian, Apa pengajuan kependetaan Pak Robert Setio. Lagi-lagi ada beberapa teman yang kurang setuju dan itu dikaitkan dengan tulisan di warta jemaat tsb. Saya ingat ada 11 rekan yang menulis surat ke majelis. Jumlah itu saya ingat, tapi nama-namanya mungkin saya lupa. Kita tetap sepakat untuk tetap kompak, walaupun tidak semua rekan setuju. 11 rekan itu diundang rapat majelis. Saya endak ikut-ikut lho.....  Sampai disini, kejadian itu tetap saya anggap biasa. Tidak ada yang aneh.

Sampai suatu saat, ada yang melaporkan bahwa 11 anak itu mendapat undangan persekutuan doa di rumah Prof. Paul Tahalele (dokter jantung ternama itu). Sampai saat ini, saya tidak tahu siapa yang membocorkan 11 nama itu dan ide siapa yang mengundang mereka ini. Kejadian ini menjadikan sesuatu yang aneh bagi saya. Saya sepakat dengan mereka bahwa saya akan hadir juga di acara tersebut.

Saya bersama beberapa teman hadir di rumah mewah itu. Di acara itu, beberapa wajah saya kenal, walaupun saya tidak tahu nama mereka satu persatu. Yang saya tahu, ada Prof. Sahetappy, ada dr. Martin Setiabudi, ada beberapa orang UK Petra. Acara pertemuan itu seperti persekutuan pada umumnya. Ada renungan. Ada pujian. Ada makan malamnya juga. Semuanya biasa, sampai kemudian pada acara setelah makan malam. Tenyata pada hadirin di arahkan untuk menandatangi penolakan akan pengesahan tata gereja GKI. Semuanya sih setuju-setuju saja, bisa jadi karena yang bicara adalah Prof. Sahetappy. Saat itu saya langsung bicara, Saya menolak acara itu karena kalau mau ditolak ya... tolong dijelaskan isinya apa? Suasana mulai penuh kasak kusuk, ternyata dimana saja sama saja. Perlu seorang yang berani ngomong. Begitu ada yang berani ngomong... mereka juga jadi berubah pikiran. Maka malam itu....acara tanda tangan itu batal. Saya juga tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Saya tidak pernah diundang lagi.

Kejadian itu membuat saya tahu, siapa pengintai kita. Siapa musuh yang ada diantara kita. Bukan untuk memecah belah sesama orang kristen tetapi sebagai pengurus kita harus tepat dalam memetakan musuh dan kawan kita.

Ada pihak yang selalu mengintai dan bergerilya di dalam kita. Mereka yang merasa selalu benar dan merasa perlu "mempertobatkan" kita. Hingga saat ini.
(kelanjutannya.....)

Kesendirian

Ada hal yang selalu bisa saya nikmati dengan indah di hidup saya saat ini. Kesendirian dan kesunyian. Saya sangat bisa menikmatinya dan memanfaatkannya.

Saya bangun sekitar jam 5 an, setelah itu saya sibuk menyiapkan bekal untuk kedua anak saya, Sylvie sudah bangun jam 4.30an dia mencuci beras lalu menyalakan rice-cooker kemudian ditinggal ke pasar. Saya dirumah, menyiapkan minum dan tas bekal anak saya. Setelah itu membangunkan mereka, menyuruh mereka mandi, pakai seragam dan sarapan. Kadang mereka makan nasi, kadang roti, kadang rotinya di panggang, kadang cuma minum cereal atau susu atau milo. Saya menikmati hal itu, karena cuma itu yang bisa saya lakukan dengan rutin untuk anak saya, juga karena sehari-hari saya balik kerumah sudah cukup malam. Dulu nenek saya melakukan hal ini juga bagi saya dan saudara-saudara saya.

Sampai sekitar jam 6.15 mereka sudah harus berangkat. Saat itulah semua hal indah selalu saya nikmati. Ketika rumah sudah sepi antara jam 6.30 sampai jam 7.30 (jam dimana telpon sudah akan banyak berbunyi). Biasanya saya duduk dilantai, berdoa, baca alkitab. Saya malas kalau harus baca alkitab pakai buku panduan. Saya baca urut saja dari kejadian sampai wahyu dan terus berulang. Satu hari satu pasal saja. Syukur kalau dapet yang pendek. Kalau dapet yang mazmur 119 ya..... mau apa lagi. Syukur kalau baca yang bisa direnungkan. Kalau pas baca bilangan dan yang ada cuma ukuran-ukuran dan silsilah keluarga.... ya... endak apa-apa juga. Entah sudah berapa kali saya katam (ini kalau istilahnya muslim). Kebiasaan ini sudah berjalan mulai sekitar kelas 3 SMP. Setiap hari kecuali minggu dan pas keluar kota. Bukannya males bawa alkitab, tapi saya sendiri kehilangan kesendirian dan kesunyian saya. Setelah itu saya baca koran atau baca buku atau melamun.

Banyak penyelesaian masalah yang saya hadapi sehari-hari, diperoleh pada saat-saat itu. Dalam kesendirian itu, banyak simulasi percakapan dan diskusi dan perdebatan saya nikmati. Semuanya, dari hal yang baik sampai yang jahat. Perdebatan tentang complain customer, pengaturan penawaran, perdebatan dengan majelis....juga ada. Saat-saat itu saya mensimulasikan semua perdebatan yang mungkin terjadi. Kalau saya jawab begini, mereka akan jawab bagaimana? Kalau dijawab begitu, saya harus menjawab apa? Dalam kesendirian itu semua "flow chart" dan "road map" tercipta. Dan itu hasil yang saya ingat untuk bekal menghadapi hari-hari saya. Kerangka tulisan ini pun hadir pada saat-saat itu. Lamunan itu memang banyak menghabiskan emosi. Ada yang membuat marah, tersenyum bahkan menangis. Itulah jam-jam indah saya dalam kesendirian.

Saya punya customer pabrik rokok besar yang kalau meminta saya datang, selalu saya yang harus menunggu mereka. Mungkin ini strategi mereka untuk bisa dianggap penting. Saya tidak pernah merasa takut untuk menunggu. saya bisa baca buku, baca ebook, mendengarkan audiobook, ataupun kalau semuanya tidak memungkinkan, saya masih bisa melamun. Saya lebih senang menunggu sendirian dari pada ada orang yang menemani dan mengobrol basa-basi. Dalam lamunan saya bisa memikirkan banyak hal. Kesendirian dan kesunyian itu benar-benar bisa saya nikmati dan manfaatkan. Saya pernah mendapat order cukup besar hanya karena saya disuruh datang jam 11 siang dan baru ditemui jam 3 sore. Saat itu saya isi dengan baca buku. Mungkin bos itu kasihan liat saya......

Kesendirian dan kesunyian itu juga yang membuat saya betah di GKI. Saya lebih memilih ikut misa di kathedral dari pada ikut kebaktian di bethany. Lha, saya endak tahu bagaimana menikmati jingkrak-jingkrak itu. Kalaupun dulu saya sering ke diskotek.. ya saya cuma duduk ngobrol atau ya ngelamun saja. Selama tidak ada orang yang mengajak saya bicara, saya bisa "suppress the ambient" suasana hingar bingar itu. Kesendirian itu sungguh lebih nikmat bagi saya.

Apa benar saya terlahir begini?

Saya sangat suka berteman, banyak teman saya dan banyak yang saya lakukan bersama teman-teman. dulu waktu SMP, saya diajak ikut les. Saya sebenarnya malas,karena saya merasa nilai saya sudah cukup baik. Tapi karena di tempat lesnya ada meja pingpong dan anak yang punya rumah itu sangat "menarik", maka saya ikut les itu. Les inggris dengan buku 999. Semua ada enam buku dan kita selesaikan semuanya. Bukan lesnya yang menarik, tapi main pingpong dan "anak" itu yang membuat kita bisa selalu kompak. Menyenangkan sekali. Lesnya jam 18.30 sampai 19.30. Kita sudah datang jam 17.30 an dan pulang jam 20.15an. Pulang karena jam segitu papa dan mama si tuan rumah pulang dari tokonya yang di desa. Pulangnya saya naik becak atau jalan kaki. Saya lebih suka jalan kaki saja. Dari pecinan ke jalan bungur mungkin cuma 15 menit jalan kaki. Saya ingat, saat itulah saat yang terasa aneh. Baru saja kita bisa tertawa bersama, bicara bersama, kini semuanya terasa sepi. Hati ini terasa kosong. Waktu itu semua toko di Bondowoso waktu itu  sudah tutup jam 20.00. Jalanan gelap, belum lagi kalau pas hari itu ada pemadaman bergilir. Saat itu kesendirian  terasa aneh bagi saya. Perasaan kosong dan sepi menggantikan suasana meriah bersama teman-teman tadi.

Kejadian itu terus berulang,  Tidak ada kejadian istimewa apa-apa. Yang ada cuma saya mulai mengikuti pelayanan di gereja dan dalam suatu acara camp saya pernah menjawab tantangan untuk menerima Yesus sebagai Juru Selamat. Kemudian saya mengikuti kateksasi dan dipermandikan.Tidak ada apa-apa yang terjadi, tetapi perasaan sepi dan kosong itu benar-benar sudah tidak pernah datang lagi. Seberat apapun perasaan saya, saya tidak pernah merasa sepi dan kosong lagi.

Sebenarnya, cerita ini tidak pernah terpikir sebelumnya. Sampai pada suatu hari, beberapa tahun silam, saat anak saya mulai ikut sekolah minggu. Hari itu sepulang sekolah minggu anak saya mengulang lagu yang diajarkan oleh guru sekolah minggunya. Kira-kira bunyinya: "seperti donat, seperti donat..... hati yang tidak mengenal yesus.... ada lubang di tengahnya....."  (ada yang tahu kata-kata persisnya?)

Kini donatnya sudah jadi donatnya Jco, tengahnya buntu!

(kelanjutannya.....)

Camp Sendang Biru

Kira-kira itu tahun berapa ya? Pasti sekitar 1991-2an. Abad yang lalu. KPR dulu punya proyek desa binaan, padahal apanya yang mau membina, lha wong kita cuma segerombolan anak muda yang kumus-kumus. Dipilihnya Sendang Biru, bisa jadi karena disana desa yang mayoritas kristen, juga bisa jadi kita ikut-ikutan Pelayanan Mahasiswa (Pelma). Pelma adalah pelayanan bersama antara GKI dan GKJW, dua minggu sekali bergantian mengadakan kebaktian mahasiswa di GKI Ngagel dan GKJW Ngagel. Pembinanya Pak Abdi Widyadi (Pak Nyok) dan Pdt. Art Verburg. Mereka punya acara sosial disana, menanam pohon mangga dan penyuluhan. Saya dan beberapa teman aktif di Pelma seperti: Rahmat, Nanang, Joko Sibarani, Niske (malah dapet belahan jiwanya) , jadinya mungkin kita ketularan ikut-ikutan memilih sendang biru.

Waktu itu KPR ingin mengadakan Camp yang lain dari biasanya. Biasanya kita camp di tempat camp/retreat yang sudah ada. Semacam di penginapan, kala itu kita coba dengan hal yang laen. Kita mau berkemah. Acaranyapun beda. Saya bukan orang yang percaya pada pembinaan instan. Saya tidak pernah percaya pada camp pembinaan. Saya percaya pada camp hura-hura. Karena melalui hura-hura yang bukan huru-hara, saya pasti dapat membina hubungan. Hubungan yang akrab akan memungkinkan kita membina mereka di pertemuan rutin. Kita mulai dari camp, menangkap mangsa kemudian menjinakkannya di persekutuan doa. Strategi ini yang saya percayai.

Acara disusun oleh seksi acara, siapa ya waktu itu? Tirtaning? Sepenuhnya saya tidak terlalu ikut-ikutan disisi isi acara, saya hanya memonitor di bentuk acara. Persiapan kita cukup matang. Sampai pada seminggu menjelang acara. Kita belum dapat ijin keramaian, karena kita mau berkemahnya di lapangan desa. Tirtaning yang mengurus perijinan itu, sampai 3 hari menjelang acara, ijin dari kepolisian polres malang (yang di kepanjen) belum didapat juga. Tirta memang sudah ke sana  mengurusnya, tapi rasanya petugasnya yang tidak ada ditempat. Saya tetap pada pendirian, kita terus saja. Pertimbangan saya, jumlah kita tidak terlalu banyak, mungkin 50 an. Kita juga direstui oleh pendeta GKJW setempat, dan desa itu mayoritas kristen jadi... pasti pendeta adalah sosok yang disegani.

Seorang ibu Majelis Penghubung KPR bilang, "Daniel, Tante berdoa agar ijinnya tidak keluar!" Syukurlah ada Ibu Majelis yang Baik. Minimal dia Ibu yang baik, karena pasti dia gemetar karena 3 anak gadisnya sudah mendaftar Camp itu. Mana ada Ibu yang tega 3 anak gadisnya bakalan terlunta-lunta di desa. Jauh dari kamar dan rumah yang bersih dan teratur. Untunglah ada Tuhan yang lebih baik, Tuhan yang mampu melihat kebaikan yang hakiki. Ketulusan dan kebaikan yang ada di hati tiap Panitia Camp. Sungguh, semua panitia dan pengurus benar-benar mempersiapkan acara ini dengan baik. Sebelum berangkat ada technical meeting, peserta diberi tahu keadaan yang sebenarnya. Informasi akan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.

Acarapun berlanjut, ketiadaan ijin keramaian dari kepolisian menjadi rahasia kita. Tidak boleh keluar, saya yang bertanggung jawab. Bukannya sok, tapi begitulah kita.

Camp inipun dimulai. Tim pionir berangkat duluan, mereka menyiapkan 3 tenda besar. Satu tenda putra, satu tenda putri dan satu tenda untuk pertemuan. Acaranya pun berjalan lancar, ada pertemuan, ada bakti sosial. Kita membangun lapangan Voli di samping gereja. Kita bekerja bersama pemuda gereja setempat. Disini kita tidak membina lewat ceramah, tapi lewat kehidupan dan aktivitas kehidupan yang sebenar-benar. Disana tidak ada WC umum yang memadai untuk kita semua. Didekat lapangan hanya ada sumber air tempat warga desa sana mandi dan mencuci. Tidak ada bangunan permanennya. Tidak ada kamar mandi berpintu dan beratap yang permanen. Di technical meeting, kita sudah tekankan bahwa tidak boleh ada yang ngintip orang mandi. Hidup kita akan menjadi sorotan orang desa sana. Sampai berita ini diturunkan, tidak ada laporan: ada yang mengintip sesamanya saat mandi. Memang ada selentingan ada seorang remaja yang berusaha untuk mengintip, memang dia berwajah "mesum" (sori, bukannya mendakwa, tapi cuma meminjam istilahnya extravaganza). Tapi rasanya itu juga masih isu.

Walaupun kita tidur bersama se tenda, tidak ada peserta yang melaporkan kehilangan harta bendanya. Cuma satu laporan kehilangan, seingat saya: Jane. Dia kehilangan arloji, tapi itupun ketinggalan saat mandi, jadi bisa juga "diamankan" oleh penduduk setempat. Rasanya peserta memang benar-benar belajar untuk bertanggung jawab bagi sesamanya. Jangan dipikir saat itu anak KPR alim-alim, kalau ketuanya aja "urakan" apa lagi gerombolannya. Tapi sekali lagi, melalui camp ini kita berlatih untuk saling menghargai dan bertanggung jawab.

Acara dan suasana berjalan dengan aman dan terkendali, kita rencananya 3 hari 2 malam. Sampai pada sore terakhir. Sore itu ada beberapa orang yang mendatangi kami, mereka mau bermain bola, karena katanya memang ada rencana pertandingan sepak bola antar desa sore itu. Karena lapangannya kita pakai untuk acara berkemah, mereka balik dengan kecewa. Celakanya, dari beberapa teman pemuda gereja sana, katanya mereka ini kecewa berat. Kemudian ada yang menyampaikan bahwa orang-orang itu marah dan akan menyerang membubarkan kita. Saya kumpulkan beberapa teman panitia. Ada Bowo, Glorius, Gandung ..... dan beberapa teman lain. Kita sepakat untuk merahasiakan hal ini. Kita juga menyusun rencana bila hal itu terjadi, rencana evakuasi peserta ke rumah Pak Pendeta. Acara malam itu talent show. Semua harus berjalan sesuai rencana. Seksi acara tetap harus melaksanakan tugas seperti tidak ada apa-apa. Berita ini tidak boleh  bocor ke peserta. Saat acara berlangsung, beberapa diantara kita berjaga-jaga. Suasana malam di desa yang gelap gulita itu mencekam kita. Kegelapan itu juga memungkinkan kita untuk bisa melihat bila ada kendaraan yang akan datang. Katanya mereka akan membuyarkan acara kita dengan datang pakai truk. Kita harus siap kalau memang mereka menyerang. Gandung memegang pisau besar yang dibawanya untuk kerja bakti. Glorius bawa palu, saya bawa kayu bakar yang cukup besar. Juga beberapa teman lainnya dengan persenjataannya. Kita sempat guyon: "Eh, kalau memang benar mereka dateng, apa kita berani memukul mereka?" Gandung bilang, "rasanya aku kog ya endak tega kalau mbacok orang...." Petang itu. sementara acara berlangsung, api unggun dan talent show, kita  berjaga-jaga dan berdoa. Benar, saya berdoa, karena kalaupun kita bawa kayu dan senjata, tapi siapakah kita dibandingkan orang desa yang kekar-kekar itu? Setiap ada sorot lampu mobil mendekat, saya was-was.

Syukurlah, sampai acara berakhir, tidak ada kejadian apa-apa. Acara camp itu sukses. Kita mampu  berlatih tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Ketika balik ke Surabayapun, kita sepakat untuk merahasiakan kejadian ini. Kita takut menjadi bumerang untuk perijinan acara sejenis di kemudian hari.

Suatu cerita tentang bagaimana kita bisa membina lewat kegiatan yang bukan pembinaan.

(kelanjutannya.....)